Peran Madrasah dalam Pembangunan
A. Pertumbuhan jumlah siswa madrasah dari tahun ke tahun
Pendataan
secara terpadu pendidikan yang bernaung di bawah Departemen Agama
(madrasah) dimulai sejak tahun 1998. Saat ini data tersebut ditangani
oleh bagian data dan informasi pendidikan setditjen Kelembagaan agama
Islam. Jumlah lembaga yang berhasil didata dari tahun ke tahun
menunjukkan adanya peningkatan. Berikut data nasional jumlah siswa
madrasah berdasarkan jenjang pendidikan sepanjang 2007 sampai 2009.
Jenjang pendidikan
|
Tahun
| |
2007/2008
|
2008/2009
| |
Ibtidaiyah
|
2 .870.839
|
2,916,227
|
Tsanawiyah
|
2 .347.186
|
2 ,437,262
|
Aliyah
|
855.553
|
895,834
|
Sumber : Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Dari
data di atas menunjukkan adanya peningkatan, walaupun tidak secara
signifikan. Hal ini disebabkan adanya madrasah-madrasah baru yang
lokasinya terjangkau oleh peserta didik. Karena umumnya letak madrasah
itu di lokasi yang terpencil sehingga sulit dijangkau.
Gejala ini menunjukkan perkembangan madrasah di masa mendatang. Pendidikan madrasah mampu menampung peningkatan jumlah peserta didik seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk.
Pertumbuhan
madrasah, sebagian besar dari swadaya masyarakat yang didirikan dengan
niat agar memberikan pelayanan yang lebih baik terhadap anaknya untuk
pendidikan umum dan agama.
Dengan
sistem pengelolaan langsung oleh masyarakat ditambah dengan kondisi
masyarakat dimana sebagian mereka berasal dari golongan kurang mampu
menyebabkan madrasah berkembang tidak secepat sekolah umum.
Proporsi
siswa yang mengikuti program pendidikan dasar di Madrasah bervariasi
antar Daerah. Dari analisis diperkirakan di 70% kabupaten/kota, Madrasah
menampung sekitar 4 sampai 20% siswa sekolah dari tingkat sekolah dasar
sampai lanjutan tingkat atas, di empat kabupaten/kota menampung sekitar
setengah dari jumlah siswa sekolah, di delapan kabupaten/kota tidak
menyelenggarakan Madrasah sama sekali. Di beberapa komunitas, Madrasah
merupakan pilihan, tetapi di daerah terpencil dimana sekolah umum yang
diselenggarakan pemerintah belum ada, Madrasah swasta menjadi
satu-satunya jenis pendidikan umum yang tersedia.
Diperoleh
informasi bahwa siswa baru pada tingkat MI sebagian besar adalah siswa
yang yang belum melalui pendidikan pra sekolah. Hal ini menjadi salah
satu kendala yang menyebabkan tingkat pengulang pada MI masih tinggi.
Jika dibandingkan dengan MTs dan MA, maka dapat dikatakan bahwa tingkat
pengulang pada MI mencapai 2.6 % untuk MTS 0.2% dan untuk MA 0.2 %,
dari data diatas pengulang untuk MI mencapai 10 kali lebih tinggi
dibandingkan MTs dan MA.
Secara
umum bahwa tingkat putus sekolah pada tingkat MTs dan MA lebih tinggi
dibandingkan MI. Selain itu juga terlihat bahwa tingkat putus sekolah
pada MTs dan MA ada sedikit kenaikan sedangkan pada MI terus menurun.
Salah satu penyebab tingginya tingkat putus sekolah pada MTs dan MA
adalah kemampuan sosial ekonomi orangtua. Orangtua siswa pada madrasah
sebagian besar (mencapai 84%) berasal dari golongan kurang mampu
(pendapatan dibawah UMR). Hal inilah yang menyebabkan siswa mampu untuk
melanjutkan pendidikan mereka.
B. Peranan Madrasah dalam pembangunan
Dari
sejarahnya, madrasah lahir pada awal abad ke 20 sebagai respons
kalangan tokoh muslim di Indonesia terhadap kebijakan pendidikan
Pemerintah Kolonial Belanda. Pemerintah Kolonial menolak eksistensi
pondok pesantren dalam sistem pendidikan yang hendak dikembangkan di
Hindia Belanda. Kurikulum maupun metode pembelajaran keagamaan yang
dikembangkan di pondok pesantren bagi pemerintah kolonial, tidak
kompatibel dengan kebijakan politik etis dan modernisasi di Hindia
Belanda. Di balik itu, pemerintah kolonial mencurigai peran penting
pondok pesantren dalam mendorong gerakan-gerakan nasionalisme dan
prokemerdekaan di Hindia Belanda.
Menyikapi
kebijakan tersebut, tokoh-tokoh muslim di Indonesia akhirnya mendirikan
dan mengembangkan madrasah di Indonesia didasarkan pada tiga
kepentingan utama, yaitu: 1) penyesuaian dengan politik pendidikan
pemerintah kolonial; 2) menjembatani perbedaan sistem pendidikan
keagamaan dengan sistem pendidikan modern; 3) agenda modernisasi Islam
itu sendiri.
Namun
begitu, sebagaimana pondok pesantren, kehadiran madrasah pun tidak
mendapat tanggapan positif dari pemerintah kolonial. Meskipun tidak
dilarang secara resmi, madrasah diawasi secara sangat ketat,
didiskriminasikan, dan terus dihambat perkembangannya. Berbagai hambatan
dari pemerintah kolonial inilah yang menjelaskan mengapa madrasah
berkembang di daerah-daerah pelosok dan terpencil sebagai lembaga
pendidikan yang pengelolaan maupun sumber pendanaannya berbasis
masyarakat.
Dengan
status kelembagaan yang sebagian besar swasta, dapat dipahami apabila
sejauh ini madrasah memiliki banyak keterbatasan dalam meningkatkan mutu
layanan pendidikannya. Meskipun demikian, sebagaimana tampak sangat
jelas dalam ulasan di bawah, sedangkan segala keterbatasannya madrasah
justeru memberikan sumbangan yang sangat besar dalam perluasan dan
pemerataan akses pendidikan di Indonesia, khususnya bagi kelompok
masyarakat miskin dan marginal.
Salah
satu pilar pendidikan nasional adalah perluasan dan pemerataan akses
pendidikan. Upaya perluasan dan pemerataan akses pendidikan yang
ditujukan dalam upaya perluasan daya tampung satuan pendidikan dengan
mengacu pada skala prioritas nasional yang memberikan kesempatan yang
sama bagi seluruh peserta didik dari berbagai golongan masyarakat yang
beraneka ragam baik secara sosial, ekonomi, gender, geografis, maupun
tingkat kemampuan intelektual dan kondisi fisik. Perluasan dan
pemerataan akses memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi penduduk
Indonesia untuk dapat belajar sepanjang hayat dalam rangka peningkatan
daya saing bangsa di era globalisasi.
Sumbangan
madrasah dalam konteks perluasan akses dan pemerataan pendidikan
tergambar secara jelas dalam jumlah penduduk usia sekolah yang menjadi
peserta didik madrasah. Pada tahun 2007, jumlah seluruh peserta madrasah
pada semua jenjang pendidikan sebesar 6.075.210 peserta didik. Adapun
Angka Partisipasi Kasar (APK) madrasah terhadap jumlah penduduk usia
sekolah pada masing-masing tingkatan adalah 10,8% MI, 16,4% MTs, dan
6,0% MA. Kontribusi APK tersebut tersebar berasal dari madrasah swasta
pada masing-masing tingkatan.
Sumbangan
lain dari madrasah dalam pembangunan pendidikan nasional adalah dalam
penuntasan wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas) sembilan tahun.
Program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun pada pendidikan
madrasah dikembangkan melalui Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah
Tsanawiyah (MTs). Jumlah MI sebanyak 22.610 buah dengan 3.050.555
peserta didik. Jumlah MTs sebanyak 12.498 buah dengan 2.531.656 peserta
didik. Jumlah peserta didik dalam program wajib belajar pendidikan
sembilan tahun terdiri dari 47,2% peserta didik MI dan 31,8 peserta
didik MTs. Sisanya 21,0% peserta didik/santri pondok pesantren salafiah.
Kontribusi madrasah terhadap penuntasan wajib belajar pendidikan dasar
sembilan tahun cukup lumayan besar mencapai 17%. Meskipun belum
tercapai, namun diharapkan sampai tahun 2009 dapat dituntaskan. Kriteria
tuntas adalah angka partisipasi kasar (APK) mengikuti pendidikan SMP
atau Madrasah Tsanawiyah mencapai 95%. Sampai tahun 2008 baru mencapai
sekitar 92,3%. Angka sisanya yaitu sekitar 2,7 % diharapkan pada tahun
2009 dapat dicapai angka partisipasi kasar pendidikan dasar sembilan
tahun hingga 95%. Artinya wajib belajar pendidikan dasar pendidikan
dasar sembilan tahun itu dianggap tuntas, meskipun 95% masih ada sisanya
5%. Angka 5% dari 50 juta anak usia sekolah bisa dikatakan lumayan
banyak yang tercecer, tetapi bisa dianggap selesai. Sedangkan jika
dilihat secara keseluruhan termasuk Madrasah Aliyah, kontribusi madrasah
dari mulai MI sampai MA terhadap angka partisipasi mengikuti pendidikan
di berbagai jenjang pendidikan secara agregat atau secara keseluruhan
itu bisa mencapai 21%. Bukan angka sedikit 21% dari sekitar 60 juta
penduduk. Artinya masyarakat terutama madrasah telah memberikan andil
pada upaya-upaya pemerintah menyediakan lembaga-lembaga pendidikan yang
cukup besar. Di samping kenaikan APK, indikator lain dari percepatan
penuntasan program wajib belajar sembilan tahun adalah semakin
menurunnya angka drop out pada tahun 2006 sebesar 0,6 % menjadi 0,4 %
pada tahun 2007 untuk MI dan untuk MTs sebesar 1,06 % pada tahun 2006
menjadi 1,02 % pada tahun 2007. Pada tahun 2008 angka drop out pada MI
dan MTs diperkirakan turun 1,04 % sedangkan APK pada MI dan MTs
masing-masing mencapai 14,75 % dan 20,70 %.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar